Minggu, 30 November 2008

ISTANA AIR TAMANSARI:PESANGGRAHAN DAN BENTENG PERTAHANAN



Saya menemukan beberapa gambar dengan lokasi Taman Sari (Kraton Yogyakarta) yang sangat-sangat luarbiasa. Gambar tersebut saya dapatkan dari www.pbase.com/rtogog. Sebagai orang awam, saya merasakan bahwa pengambilan gambar dilakukan dengan teknik yang sangat sempurna. Berikut saya tampilkan disini, semoga sang pemilik mengijinkan gambarnya saya unduh dan saya publish disini.




























Selain itu saya sertakan naratifnya dari www.tembi.org untuk melengkapi gambar-gambar tersebut diatas.

Pesanggrahan Taman Sari yang kemudian lebih dikenal dengan nama Istana Taman Sari yang terletak di sebelah barat Keraton Yogyakarta dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I dan diselesaikan pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana II. Meskipun demikian, lokasi Pesanggrahan Taman Sari sebagai suatu tempat pemandian sudah dikenal jauh sebelumnya. Pada masa pemerintahan Panembahan Senapati lokasi Taman Sari yang sekarang ini lebih dikenal dengan nama Umbul (mata air) Pacethokan. Umbul ini dulu terkenal dengan debit airnya yang besar dan jernih. Pacethokan ini menjadi salah satu pertimbangan penting bagi penentuan letak calon Keraton Yogyakarta.

Pesanggrahan Taman Sari dibangun setelah Perjanjian Giyanti (1755), yakni setelah Sultan Hamengku Buwana sekian lama terlibat dalam persengketaan dan peperangan. Bangunan tersebut dimaksudkan sebagai bangunan yang dapat dipergunakan untuk menenteramkan hati, istirahat, dan berekreasi. Meskipun demikian, Taman Sari ini juga dipersiapkan sebagai sarana/benteng untuk menghadapi situasi bahaya. Di samping itu, bangunan ini juga digunakan untuk sarana ibadah. Oleh karenanya Pesanggrahan Taman Sari juga dilengkapi dengan mushola, tepatnya di bangunan Sumur Gumuling.

Nama Taman Sari terdiri atas dua kata, yakni taman 'kebun yang ditanami bunga-bungaan' dan sari 'indah, bunga'. Dengan demikian, nama Taman Sari dimaksudkan sebagai nama suatu kompleks taman yang benar-benar indah atau asri.

Dua Versi Cerita Tentang Pembangunan Pesanggrahan Taman Sari

Versi Pertama
Pada versi pertama diceritakan bahwa di Mancingan (suatu daerah di pantai selatan Yogyakarta) terdapat orang aneh yang tidak diketahui asal-usulnya. Masyarakat di daerah tersebut banyak yang menduga bahwa orang tersebut termasuk sebangsa jin atau penghuni hutan. Masyarakat beranggapan demikian karena orang tersebut menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh orang setempat. Orang aneh tersebut kemudian dihadapkan kepada Sultan Hamengku Buwana II yang saat itu masih memerintah. Rupanya Sultan Hamengku Buwana II berkenan mengambil orang tersebut sebagai abdi. Setelah beberapa lama orang itu pun dapat berbahasa Jawa. Berdasarkan keterangannya ia mengaku sebagai orang Portugis yang dalam dialek Jawa sering disebut Portegis. Orang Portegis itu kemudian dijadikan sebagai abdi yang mengepalai pembuatan bangunan (semacam arsitek).

Sultan Hamengku Buwana II pun memerintahkan orang tersebut agar membuat benteng. Rupanya Sultan Hamengku Buwana II amat berkenan atas hasil kerjanya. Orang tersebut kemudian diberi kedudukan sebagai demang, maka orang itu pun terkenal dengan nama Demang Portegis atau Demang Tegis. Demang Tegis inilah yang konon diperintahkan untuk membangun Pesanggrahan Taman Sari. Oleh karena itu pula bangunan Pesanggrahan Taman Sari menunjukkan unsur seni bangunan yang berasal dari Eropa (Portugis).

Versi Kedua
Menurut versi kedua diceritakan bahwa pada suatu ketika bupati Madiun yang waktu itu bernama raden Rangga Prawirasentika, yang telah banyak berjasa kepada Sultan Hamengku Buwana I memohon kepada beliau supaya dibebaskan dari kewajiban membayar pajak daerah yang selama ini dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun. Bupati Madiun hanya menyanggupi bila ada permintaan-permintaan khusus Sultan Hemngku Buwana I untuk kelengkapan hiasan dan kemegahan keraton. Sultan Hamengku Buwana I pun mengabulkan permohonan itu.

Oleh Sultan Hamengku Buwana I Bupati Madiun diperintah untuk membuat gamelan Sekaten sebagai pelengkap dari gamelan Sekaten yang berasal dari Surakarta. Semula gamelan tersebut berjumlah satu pasang, tetapi oleh karena palihan nagari (1755) gamelan itu dibagi dua. Satu untuk Kasultanan Yogyakarta dan satu lagi untuk Kasunanan Surakarta. Di samping itu, Sultan Hamengku Buwana I juga memerintahkan kepada Bupati Madiun untuk dibuatkan jempana 'tandu' sebagai kendaraan mempelai putri Sultan Hamengku Buwana I.

Pada tahun 1684 Raden Rangga Prawirasentika diperintahkan untuk membuat batu bata dan kelengkapannya sebagai persiapan untuk membangun pertamanan yang indah sebagai sarana untuk menenteramkan hati Sultan Hamengku Buwana I. Sultan menghendaki hal demikian karena baru saja menyelesaikan tugas berat (perang) yang berlangsung cukup lama. Keluarnya perintah Sultan Hamengku Buwana ditandai dengan sengkalan memet yang berbunyi Catur Naga Rasa Tunggal (1684).

Untuk pembuatan pertamanan/pesanggrahan itu atas perkenan Sultan Hamengku Buwana I dikepalai oleh Raden tumenggung Mangundipura dan dipimpin oleh K.P.H. Natakusuma, yang kemudian hari menjadi K.G.P.A.A. Paku Alam I (putra Sri Sultan dengan isteri selir yang bernama Bendara Raden Ayu Srenggara). Pembuatan tempat peraduan dan bangunan urung-urung 'gorong-gorong' yang menuju keraton yang sering juga disebut Gua Siluman dilakukan pada tahun 1687 dan ditandai dengan candra sengkala Pujining Brahmana Ngobahake Pajungutan (1687). Sedangkan pembangunan pintu-pintu gerbang dan tembok selesai pada tahun 1691.

Selesainya pembuatan bangungan Pesanggrahan Taman Sari diberi tanda sengkalan memet yang berupa relief pepohonan yang berbunga dan sedang dihisap madunya oleh burung-burung. Sengkalan memet tersebut berbunyi Lajering Kembang Sinesep Peksi (1691).

Dalam versi kedua ini diceritakan bahwa Raden Rangga Prawirasentika tidak dapat menyelesaikan pembuatan bangunan Pesanggrahan taman Sari. Beliau menyatakan bahwa pembangunan tersebut justru dirasa lebih besar biayanya dibandingkan dengan penyampaian pajak setahun dua kali yang selama ini dilakukannya. Oleh karenaya beliau mohon berhenti pada Sultan dan diperkenankan. Sultan kemudian memerintahkan K.P.H. Natakusuma untuk menyelesaikan bangunan itu atas biaya yang ditanggung Sultan sendiri.

Pembangunan Pesanggrahan Taman Sari ini konon banyak melibatkan tenaga kerja tidak saja yang berasal dari sekitar Yogyakarta, tetapi juga dari Madiun, Kedu, Jipang, dan sebagainya.

Bangunan Taman Sari memiliki 36 buah bagian bangunan penting dengan berbagai nama dan fungsinya.

Bahan tulisan berasal dari tembi.org.
Naskah: Sartono K.




Selengkapnya...

Pasar Ngasem





Berkelana ke Pasar Ngasem bisa dikatakan keharusan setelah mengunjungi Kraton Yogyakarta. Selain karena lokasinya yang hanya 400 meter barat Kraton, juga karena pasar ini akan memberikan info penting tentang apa yang dianggap bergengsi di masa kerajaan dahulu. Setelah kuda sebagai alat transportasi dan keris sebagai senjata, burung ada di tempat ketiga sebagai pengukur status sosial. Pasar Ngasem menawarkan berbagai macam burung dengan keindahan kenampakan dan suaranya, serta kegiatan para pecintanya.


Sebuah bukti berupa foto menunjukkan bahwa Pasar Ngasem dengan barang dagangan utamanya berupa burung telah ada sejak tahun 1809. Letaknya yang tak jauh dari Kraton dimaksudkan agar para bangsawan mudah mengaksesnya. Sekitar tahun 1960-an, pasar ini semakin identik dengan burung setelah pedagang burung dari pasar Beringharjo dipindahkan ke tempat ini. Bukan hal mengherankan bila banyak turis menyebut pasar ini dengan bird market karena areal perdagangan burung sepertiga dari luas pasar.

Areal jual beli burung dijumpai dengan berbelok ke kiri dari pintu masuk. Burung perkutut yang dahulu laris dibeli para bangsawan hingga kini masih menjadi salah satu barang dagangan utama pasar ini. Jenis lain yang laris adalah kutilang, kepodang, emprit, prenjak, jalak, dan parkit. Burung yang jarang dibeli namun cukup menarik adalah burung hantu yang anakannya dijual Rp 35.000,-. Salah satu kios burung bahkan menjual burung elang yang kini telah terjual seharga Rp. 350.000,-. Selain binatangnya, kios burung juga menyediakan perlengkapan pemeliharaan seperti kandang dan pakan.

Pasar Ngasem memiliki nuansa berbeda dengan pasar burung lain. Di pasar ini, pengunjung tidak hanya dapat menikmati keindahan burung saja, tetapi juga pertunjukan yang digelar oleh para pecinta burung. Misalnya, pertunjukan keahlian burung dara untuk terbang kembali ke kandang dan adu kemerduan suara berbagai macam burung. Dari pertunjukan itulah biasanya ada calon pembeli yang merasa tertarik dan kemudian rela membayar berapa pun harganya. Penjual kadang juga mau mengajari melatih burung agar dapat berkicau atau sekedar bercakap-cakap tentang cara memelihara burung.

Kalau mau berkeliling, anda juga akan mengetahui bahwa Ngasem tak hanya menjual burung, tetapi juga binatang lain. Berbelok ke kanan dari areal penjualan burung, akan dijumpai kios pedagang ular. Menurut penjualnya, ular yang dijualnya langsung ditangkap dari habitatnya. Jenis ular yang dijual mulai dari ular air hingga kobra dan phyton. Bila ingin melihat, penjual akan mengambil peliharaannya agar pembeli dapat melihat detailnya. Selain ular, kios itu juga menjual berbagai reptil seperti iguana dan penyu. Seekor iguana kecil dijual dengan harga Rp 75.000 sementara bila telah besar harganya mencapai ratusan ribu.

Menuju bagian barat pasar, anda akan menjumpai kios yang menawarkan ikan hias. Jenis ikan dan harganya bervariasi. Ikan hias kecil yang suka berkoloni dijual dengan harga Rp. 1000 per ekor. Ikan hias lain yang dijual adalah arwana dan lou han yang dijual seharga ratusan ribu. Perlengkapan pemeliharaan ikan juga banyak dijual. Mulai dari akuarium dengan berbagai bentuk, karang-karangan, tanaman hias untuk akuarium, dan pakan ikan. Beberapa kios juga menyediakan jasa untuk set up pemeliharaan ikan laut.

Selain ikan, burung, dan ular, binatang peliharaan lain yang dijual adalah anjing, kucing, musang, berbagai jenis ayam hingga kelici dengan berbagai warnanya. Salah satu kios juga menjual mencit dengan satu set tempat peliharaannya yang didesain sebagai arena bermain sehingga pembeli dapat menikmati tingkah mencit layaknya sirkus. Di bagian tengah pasar, terdapat pedagang yang menjual jangkrik. Biasanya, jangkrik dibeli para pecinta burung untuk pakan dan anak sekolah yang ingin mendengarkan suaranya.

Kalau lelah atau pun lapar, seperti pasar tradisional lainnya, Ngasem juga menyediakan jajanan pasar. Salah satu jajanan yang khas adalah jenang gempol (terbuat dari bulatan berbahan dasar tepung beras yang berasa gurih dipadu dengan kuah dari santan dan sirup gula jawa yang manis) yang penjualanya bisa dijumpai di bagian depan pasar. Jajanan lain adalah getuk, lupis, thiwul, dan gatot. Di sebelah kios penjual burung juga tersedia warung-warung makan yang menjual soto dan nasi rames. Penjelajahan ke Pasar Ngasem akan menjadi menyenangkan tentunya.

=====================================================================



Wandering about Ngasem market seems like a must after visiting Yogyakarta Sultan Palace. In addition to its location that is only 400 meters west of the Palace, this market will give important information on what was considered prestige in the past. After horses functioning as means of transportation and kris as a weapon, birds comes the third position as social status measurement. Ngasem Market offers various kinds of birds with their beautiful appearance and voice and the activities of the bird lovers there.

Evidence in the form of a photograph shows that Ngasem market with birds as its main commodity has been operating since 1809. Its location that is not far from the Kingdom was meant for the noblemen to access it easily. In around 1960s, this market was increasingly identical to birds when birds sellers from Beringharjo were moved to this place. It is not surprising that many tourists call this market a bird market since the area for selling birds occupies one third of the market width.

The area for birds trading is on the left side of the entrance. The turtledove that many noblemen bought in the past is still one of the main commodities of this market. Other best sellers are bulbuls, orioles, starlings and minas, parakeet and small local birds such as emprit and prenjak. An interesting bird that people rarely buy is owl of which child is sold at 35,000 Rupiah. One of the bird shops had even recently sold an eagle at 350,000 Rupiah. Besides selling birds, the shops also provide care equipments such as cage and feeds.

Ngasem Market has different nuance from other bird market. Here, visitors do not only enjoy the birds beauty but also animal show performed by birds lovers, for example demonstration of doves that return to its cage from distant flight and birds chirp contest. Sometimes, the visitors decided to spend some amount of money to buy birds by listening to the chirp in the contest first. The sellers use the event to train the birds to chirp or just to discuss about the technique of taking care of birds.

If you go around the market, you will see that many other animals than birds are sold here. Turning right from the birds block, you will come to a kiosk that sells snakes. The seller tells that the snakes were caught directly from its habitat. The snakes range from water snake to cobra and python. To look the animals in detail, please ask the sellers to take them out for you to inspect. In addition to snakes, the kiosk also sells various reptiles such as iguana and turtle. A small iguana is sold at 75,000 Rupiah and when it sells hundreds thousand when it is already big.

Walking westwards of the market, you will see many kiosks selling ornamental fish. The types and prices vary. Small fish that live in a colony is sold 1,000 each. Other ornamental fish are arwana and lou han sold at hundreds thousand. The kiosks also sell equipments for taking care of fish such as aquarium of various shapes, coral reefs, ornamental plants to be put in the aquarium and fish feeds. Some kiosks provide services for setting up sea fish cultivation.

Other animals than fish, bird, and snakes that are sold are dog, cat, civet, various kinds of chickens and rabbits with different fur colors. One kiosk sells hamster complete with its cage designed specifically in order to provide playground for it so that buyers will be able to see the behavior of the hamster that is similar to that of mice. In the middle of the market, many people sell crickets. Crickets are used as feeds for certain birds or by students to listen to its sound.

If you feel tired or hungry, just like other traditional markets do, Ngasem also provides you with traditional snacks. One of the special, traditional snacks is jenang gempol (round in shape, made from rice flour with rich flavor combined with coconut milk sauce and sweet palm sugar syrup) that is usually sold in front of the market. Other traditional snacks are getuk, lupis, thiwul, and gatot that all of which are made of cassava. Close to the bird kiosks, there are small dining places selling soto and nasi rames. For sure, the exploration to Ngasem Market will be enjoyable.



gambar dan tulisan semua diambil dari www.yogyes.com
Selengkapnya...

Masjid Aya Sofia




nama masjid ini memberikan inspirasi pada nama anak kedua saya
adapun nama anak saya selengkapnya adalah aya shofia achsanti akmalia
berikut sedikit tulisan mengenai masjid aya sofia.

Di belahan jantung Eropa, berdirilah sebuah tempat peribatatan kaum muslimin. Ia adalah mesjid Aya Sofia.
Sebelum menjadi masjid, Aya Sofia adalah gereja umat Kristen Timur yang dibangun


oleh Constantius, putra Kaisar Constantine Agung. Gereja ini sering jatuh bangun dihantam gempa. Meski bangunannya dibuat berbentuk kubah biar tahan gempa, tapi tetep aja KO. Pada tanggal 7 Mei 558 M, di masa Kaisar Justinianus, kubah sebelah timur runtuh terkena gempa. Pada tanggal 26 Oktober 986, pada masa pemerintahan Kaisar Basil II (± 958-1025), kena gempa lagi (euleuh-eulueh, teu kapok-kapok nya!)
Akhirnya, renovasi gede-gedean dilakukan biar nggak kena gempa pada awal abad ke-14. Keistimewaan bangunan ini terletak pada bentuk kubahnya yang besar dan tinggi. Bayangin aja, ukuran tengahnya aja 30 m. Trus, tinggi dan fundamennya 54 m. Udah gitu, interiornya dihiasi dengan mosaik dan fresko, tiang-tiangnya terbuat dari pualam berwarna-warni, dan dindingnya dihiasi pula dengan berbagai ukiran. Indah tenan euy!
Ketika Konstantinopel jatuh ke tangan tentara Islam di bawah pimpinan Sultan Muhammad II bin Murad II Turki Usmani (yang terkenal dengan julukan ‘al-Fatih’ alias sang penakluk) pada tanggal 27 Mei 1453. Ketika memasuki kota itu, al-Fatih turun dari kudanya dan melakukan sujud syukur kepada Allah swt. Lalu beliau pergi ke Gereja Aya Sofia dan memerintahkan untuk mengubahnya menjadi Masjid yang terkenal dengan nama Masjid Aya Sofia. Nama Konstantinopel pun beliau ganti menjadi Islam Pol (Kota Islam) yang ucapannya bergeser menjadi Istambul.
Berbagai modifikasi terhadap bangunan segera dilakukan agar sesuai dengan corak dan gaya bangunan masjid. Pada masa Sultan Muhammad al-Fatih (memerintah 1444-1446 M dan 1451-1481 M) dibuat sebuah menara di bagian selatan. Sultan Salim II (memerintah 1566-1574 M), dibangun sebuah menara di bagian timur laut. Sultan Murad III (memerintah 1574-1595 M), membangun dua buah menara dan mengubah bagian-bagian bangunan yang bercirikan gereja. Termasuk mengganti tanda salib yang terpampang pada puncak kubah dengan hiasan bulan sabit.
Jadi Museum
Setelah kekhilafahan Turki Usmani kalah pada Perang Dunia I, pasukan sekutu menguasai Istanbul pada tahun 1922 M. Bangunan kuno Aya Sofia yang hampir lima abad dijadikan masjid, diubah menjadi museum oleh penguasa baru Turki, Mustafa Kemal Ataturk (Bapak moyangnya Republik Sekuler Turki). Dan memindahkan ibu kota Turki dari Istambul ke Ankara.
Sobat muda, sejak saat itu, masjid Aya Sofia dijadikan salah satu objek wisata terkenal oleh pemerintah Turki di kota Istambul. Nilai sejarahnya tertutupi oleh gaya arsitektur Byzantium yang indah mempesona. Inilah salah satu upaya musuh-musuh Islam untuk menghilangkan jejak kejayaan Islam. Padahal, dulu Sultan Muhammad al-Fatih hanya didukung oleh 265 orang untuk menaklukan kota Byzantium alias Konstantinopel bin Istambul yang menjadi pusat kekaisaran Romawi Timur. Makanya kita nggak perlu minder dengan kekuatan yang dimiliki musuh-musuh Islam. Kita pasti menang dan Islam akan kembali berjaya. Allahu Akbar!
sumber : http://sobatmuda.wordpress.com

Selengkapnya...

Minggu, 10 Agustus 2008

Foto jaman doeloe


Hotel Toegoe Djocja - Dining Room

Djocja Market Street


Djocja - Market


Over de kali Tjode


Printing Factory Djokja-Java

gedung societet tahun 1941





gondolayu 1937

bank BNI 46 di tahun 1925
























































Bus van Jogjakarta naar Magelang





Toegangspoort tot de stallen van de kraton te Jogjakarta






Pasar Beringharjo 1910

Kantor Pos 1955

Pohon Beringin Alun-alun







Selengkapnya...